PKS Legok - Salah satu hasil dakwah adalah membuat musuh
kesal. Mereka merasa rugi karena adanya dakwah. Oleh karenanya musuh Islam
selalu membuat gerakan menghalangi dakwah. Kekesalan musuh karena keberadaan
dakwah disebutkan dalam surah yasin. Allah berfirman:
“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami
bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru
kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapatkan siksa
yang pedih dari kami.” (QS. 36:18)
Kenapa musuh Islam mengkambing-hitamkan dakwah
dan merasa bernasib malang? Jawabannya adalah karena karakter dakwah
adalah merubah. Ketika para Rasul berdakwah ke negeri tersebut dan berusaha
mengadakan perubahan maka mulailah musuh Islam terpojokkan dan merasa
dirugikan.
Salah satu perubahan yang diciptakan dakwah adalah
perubahan dalam aturan hidup. Merubah dari aturan jahiliyah menuju aturan
cahaya Islam. Allah berfirman:
“Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang
Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada
cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. 14:1)
Secara jelas ayat ini menyebutkan tujuan diturunkannya
Al-Quran yaitu merubah manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Di
titik inilah kemarahan musuh Islam terpicu. Karena bagi musuh Islam, aturan
jahiliah menguntungkan dan menjadi jalan memperoleh dunia. Ketika aturan
tersebut dirubah menjadi islami, mereka merasa kepentingan mereka terganggu.
Jadi, dakwah yang benar adalah membuat musuh Islam
marah, dan bukan sebaliknya, membuat musuh gembira. Marah dikarenakan
kepentingan dunia mereka terancam. Kesal disebabkan oleh arus perubahan
yang mengarah kepada nilai dan aturan islami.
Fatwa Harus ditinjau dari Sisi Maslahah dan Mafsadah
Apabila Al-Quran menegaskan bahwa dakwah adalah
membuat musuh Islam kesal. Maka nilai inipun harus ada ketika berfatwa. Fatwa
tidak boleh menghasilkan manfaat bagi musuhIslam. Juga tidak boleh menimbulkan
mafsadah bagi Umat Islam.
Oleh karenanya tahapan akhir dari sebuah fatwa adalah at-tathbiiq. Dalam fase ini fatwa ditinjau dari sisi
maslahat dan mafsadahnya sebelum dirilis.
Demokrasi Haram, Siapa Diuntungkan?
Sebagai contoh apabila seorang mufti berpendapat bahwa
demokrasi haram, maka sebelum masalah ini difatwakan harus melalui fase tathbiiq. Ditimbang mashlahah dan mafsadah dari
hukum tersebut. Apakah fatwa demokrasi haram menjadi mashlahat bagi umat Islam
atau sebaliknya menjadi mafsadah dan menguntungkan musuh Islam.
Secara kasat mata, fatwa haramnya demokrasi hanya
menguntungkan musuh Islam. Sebab di negara yang menganut sistem demokrasi, akan
terpilih pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan Islam, bahkan pemimpin
yang non Islam. Ketika diadakan pemilu, Umat Islam tidak ikut serta karena
fatwa demokrasi haram. Akhirnya musuh Islam, baik munafiq atau kafir,
diuntungkan dengan fatwa ini.
Dalam kondisi seperti ini fatwa harus ditangguhkan dan
tidak dilaksanakan. Rasulullah saw. pernah menangguhkan sebuah perintah dari
Allah saw. ketika beliau melihat bahwa pelaksanaan perintah tersebut hanya akan
menimbulkan mafsadah dan kerugian bagi umat Islam.
Hal ini terjadi ketika Allah swt. memerintahkan untuk
membangun ulang Ka’bah sesuai dengan pondasi yang dibuat nabi Ibrahim.
Rasulullah saw. berkata kepada Ibunda Aisyah ra. bahwa kalaulah bukan karena
kaum Quraisy masih baru dalam memeluk Islam, beliau akan menghancurkan Ka’bah.
Kalaulah sebuah perintah ditangguhkan karena
diperkirakan akan menimbulkan bahaya bagi umat Islam, maka demikian pula fatwa.
Fatwa demokrasi haram hanya menguntungkan musuh Islam dan para munafik, maka
hendaknya fatwa haram demokrasi harus ditangguhkan. Apalagi saat ini hukum
demokrasi masih menjadi silang pendapat di kalangan ulama.
Memahami Fiqih Waqi’
Ketidak-setujuan sebagian ulama terhadap demokrasi
harus ditinjau dari fiqih waqi’, yaitu memahami dengan cermat situasi dan
realita. Hal ini sangat penting dalam menentukan pendapat dan sikap. Rasulullah
saw. tidak menghancurkan berhala yang terdapat di sekeliling Ka’bah ketika
beliau masih berada di Makkah. Berhala-berhala tersebut baru dihancurkan ketika
fathu Makkah, tahun 8 Hijriyah. Apakah pembiaran Rasulullah saw. terhadap
berhala, semasa beliau di Makkah, akan kita nilai tidak islami? Atau Justru
mengajarkan kepada kita fiqih waqi’? Marilah kita bijak dalam menyikapi
realitas kehidupan. Wallahu A’lam. (dkw)
Share Article on : | |||
Tweet |